Halo sahabat penalis!

Kejadian banjir bandang yang terjadi di Aceh, Sumatra Barat, dan Sumatra Utara adalah bencana besar yang meninggalkan luka mendalam. Ribuan korban jiwa berjatuhan, update korban jiwa banjir bandang Sumatra sebanyak 1006 orang meninggal, rumah dan infrastruktur rusak parah, serta kehidupan masyarakat berubah dalam hitungan jam. Peristiwa ini membuat kami ingin melihat lebih mendalam dari sudut pandang lain tentang apa sebenarnya yang memicu bencana ini terjadi.

Sudah banyak pembahasan mengenai banjir bandang di Sumatra. Namun, kami mencoba menyimpulkan kembali agar garis kejadian bisa terlihat lebih runtut, sehingga bencana ini tidak hanya dipahami sebagai musibah semata, tetapi juga sebagai peringatan serius. Untuk itu, kami membahas beberapa informasi yang semoga bisa menjadi pencerahan bagi kita semua.

Mengenal Siklon (Pusat Badai), Pola Angin, dan Suhu Muka Laut

Hujan lebat yang terjadi dalam waktu lama tidak berdiri sendiri. Ia sangat dipengaruhi oleh sistem cuaca besar, salah satunya adalah pusat badai atau siklon tropis. Pusat badai ini memiliki penamaan berbeda tergantung wilayahnya:

Hurricane di wilayah Atlantik dan Pasifik Timur, Typhoon di Pasifik Barat, dan Cyclone (Siklon) di wilayah Samudra Hindia dan Australia.

Siklon tropis biasanya terbentuk di atas lautan dengan suhu muka laut lebih dari 26 derajat Celsius. Laut yang hangat ini menjadi “bahan bakar” yang membuat badai terus menguat. Di dalamnya terbentuk pusat tekanan rendah yang menarik udara lembap dari sekitarnya.

Siklon memiliki satu mata badai, dengan arah putaran angin yang berbeda tergantung letaknya: Searah jarum jam di wilayah selatan garis khatulistiwa dan berlawanan arah jarum jam di wilayah utara khatulistiwa

Pada kejadian banjir bandang di Sumatra, mata siklon memang tidak berada tepat di atas daratan Sumatra. Namun, keberadaan siklon di sekitar wilayah ini berperan besar dalam menarik massa udara lembap dari laut menuju daratan, sehingga hujan turun dengan intensitas tinggi dan durasi yang jauh lebih lama dari biasanya.

Melansir berbagai laporan, pada akhir November hingga awal Desember 2025, terdapat Siklon Manyar di Selat Malaka serta bibit Siklon Tropis 91S di Samudra Hindia yang terpantau oleh BMKG. Kedua sistem cuaca ini memperkuat suplai uap air ke wilayah Sumatra. Akibatnya, awan hujan terus terbentuk dan hujan deras turun tanpa jeda selama berhari-hari.

Selain siklon, hujan ekstrem ini juga diperparah oleh suhu muka laut yang lebih hangat dari normal, dampak dari pemanasan global, serta pola angin dan gelombang atmosfer yang membuat hujan tidak cepat berpindah, melainkan menetap di wilayah yang sama.

Deforestasi

Mengenai deforestasi, kami rasa kita semua sudah mulai familiar dengan istilah ini. Intinya adalah alih fungsi hutan yang menyebabkan hutan tidak lagi mampu menjalankan perannya sebagai penyangga alam.

Hutan yang sehat memiliki akar-akar kuat yang menjahit tanah dan batuan, menahan air hujan agar tidak langsung meluncur ke bawah. Ketika hutan hilang, tanah menjadi rapuh. Tidak ada lagi yang memperlambat aliran air dari hulu ke hilir.

Maka saat hujan lebat turun dalam waktu lama, air tidak sempat terserap. Ia meluncur deras dari pegunungan, membawa tanah, batu, dan kayu, berubah menjadi banjir bandang yang menghantam apa pun di jalurnya—bak gelombang besar yang menyeret semuanya menuju sungai dan laut.

Banjir bandang yang melanda Sumatra bukan sekadar peristiwa alam yang datang tiba-tiba. Ia adalah hasil dari rangkaian kejadian yang saling terhubung—mulai dari dinamika cuaca ekstrem, suhu laut yang terus menghangat, hingga kerusakan lingkungan yang dibiarkan berlangsung lama tanpa koreksi serius.

Alam sebenarnya selalu memberi tanda. Hujan yang turun lebih lama, sungai yang meluap lebih cepat, dan tanah yang tidak lagi mampu menahan air adalah isyarat bahwa keseimbangan sedang terganggu. Ketika peringatan itu diabaikan, maka bencana hanya tinggal menunggu waktu.

Kami percaya, memahami penyebab adalah langkah awal untuk mencegah kejadian serupa terulang. Bukan untuk saling menyalahkan, melainkan untuk belajar, berbenah, dan bertanggung jawab—sebagai manusia yang hidup berdampingan dengan alam.

Karena pada akhirnya, bencana bukan hanya tentang air yang datang dari hulu, tetapi juga tentang keputusan-keputusan yang kita ambil jauh sebelum hujan pertama jatuh.

Ditulis oleh: Jaxson Denrophile

Shares: