Pendidikan – Profil Ki Hajar Dewantara. Pada tanggal 28 Nov 1959, Raden Mas Soeardi Soerjadiningrat alias Ki Hajar Dewantara diputuskan menjadi pahlawan nasional ke-2 oleh Presiden RI Soekarno dengan keluarnya Surat Keputusan Presiden Indonesia No. 305 tahun 1959.
Lahir pada tanggal 2 Mei 1889 di Pakuwan, Raden Mas Soeardi Soerjadiningrat merupakan bagian dari keluarga Kadipaten Pakualaman. Raden Mas Soeardi tamat belajar di Sekolah Dasar Eropa, dan melanjutkan pendidikannya di Sekolah Dokter Bumiputera, tapi tidak tamat karena sakit. Awal karir Raden Mas Soeardi Soerjadiningrat bekerja sebagai penulis dan wartawan di berbagai surat kabar. Raden Mas Soeardi Soerjadiningrat termasuk penulis handal dengan karakter tulisan yang tajam dan komunikatif anti pemerintahan kolonial Belanda yang rasis pada masanya. Bisa disimpulkan Ki Hajar Dewantara pada usia muda adalah sosok pemuda ningrat yang pekerja keras, cerdas, berani, dan memiliki jiwa nasionalis yang kental.
Membuat Kolonial Belanda Geram
Tulisan-tulisan, gerak-gerik, dan sikap RM Soardi muda sangat tajam terhadap kolonial balanda. Berkirim surat kepada rekan Bumiputera di seluruh Nusantara mengenai cita-citanya membebaskan penindasan dari kolonial Belanda pada masa itu. Perjuangannya semakin menemui titik terang ketika ia bekerja sebagai penulis dan wartawan yang aktif di berbagi media masa dan ikut serta dalam organisasi Boedi Oetomo 1908 sebagai seksi propaganda.
Boedi Oetomo
Diklaim organisasi nasional pertama di Indonesia yang didirikan pada tanggal 20 Mei tahun 1908, didirikan oleh Soetomo, Gunawan, Cipto Mangunkusumo, dan R.T Ario Tirtokusumo serta Wahidin Soedirohoesodo di gedung STOVIA. Pada masa itu disebut era pergerakan nasional karena kebijakan pemerintah Belanda dirasa tidak sesuai dengan harapan kaum pribumi. Harapan untuk memenuhi Politik Etis yang di dalamnya terdapat kebijakan balas budi dalam bidang edukasi, irigasi dan emigrasi. Kolonial belanda yang sudah banyak mendapat keuntungan setelah menjajah Nusantara berabad lamanya harus memenuhi ketiga kandungan Politik Etis tersebut.
Kongres pertama Boedi Oetomo dilakukan pada 3 s/d 5 Oktober tahun 1908. Hasil kongres antara lain terpilihnya pengurus organisasi baru yang disesuaikan dengan latar belakang pengalamannya. Ditetapkan tujuan dari Boedi Oetomo yaitu mengusahakan kemajuan yang selaras bagi bangsa dengan memajukan pengajaran, pertanian, perdagangan, peternakan, industri, teknik dan kebudayaan. Dari hasil kongres tersebut terjadi kesenjangan ideologi antara yang muda dan yang tua. Golongan yang tidak puas tersebut yang menjadi cikal bakal lahir organisasi lain, seperti Cipto Mangoenkoesoemo yang membuka praktik dokter di Solo dan mendirikan RA Kartini Klub dan RM Soardi bergabung dalam organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI) yang sekarang bernama Syariat Islam.
Indische Partij
Diskriminasi kolonial belanda ternyata tidak terjadi pada orang-orang Bumiputera saja, melainkan juga terdapat banyak keganjilan sikap pada keturunan campuran. Untuk memperjuangkan kesamaan itu, diperlukan kerjasama yang akhirnya terbentuk sebuah partai politik pertama yang bernama Indische Pertij pada tahun tahun 1912. Partai ini didirikan oleh yang dikenal dengan tiga serangkai yaitu E.F.E Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat yang memang memiliki latar belakang gerakan radikal terhadap diskriminasi pemerintahahn kolonial Belanda. Partai ini hanya berumur 1 tahun karena dianggap mengganggu ketertiban umum. Indische Partij dibubarkan paksa oleh pemerintahan kolonial Belanda pada Maret 1913. Setelah itu pada tanggal 18 Agustus 1913 para pendirinya harus diasingkan karena polemik tulisan yang berjudul Als ik een Nederlander was yang artinya “Andai Aku Seorang Belanda”. Ditulis oleh RM Soeardi karena saat itu kolonial Belanda mengumpulkan dana atau meminta sumbangan kepada bumiputra untuk melangsungkan perayaan ulang tahun ke-100 kemerdekaannya. Hal itu diaggap tidak pantas dilakukan oleh pemerintahan kolonial yang sudah banyak mengambil keuntungan dari bumiputra selama menjajah, juga melanggar politik etis kala itu.
Tulisan yang Membuat Ki Hajar Dewantara Diasingkan
Hingga tiba saat tulisan RM Soardi yang bertajuk Als ik een Nederlander was yang artinya “Seandainya Aku Seorang Belanda” dimuat De Express pada 19 Juli 1913 di tengah persiapan perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dijadikan polemik oleh pemerintahan kolonial Belanda untuk memanggil redaktur majalah De Express.
Pemanggilan redaktur De Express tersebut memicu Cipto sahabat RM Soeardi menulis Krach of Vress yang artinya “Kekuatan atau Ketakutan” yang dimuat De Express tanggal 26 Juli 1913. Pada masa penjajahan kolonial Belanda gerakan propaganda melalui tulisan yang dilakukan RM Soardi dan Cipto menjadi pusat perhatian yang dianggap ancaman. Oleh sebab itu kolonial Belanda benar-benar memperhatikan setiap gerak-gerik RM Soardi dan Cipto. Tiba waktu hingga RM Soeardi membuat pemerintahan kolonial Belanda sangat geram, dengan tulisannya lagi berjudul Een Voor Allen, Maar Ook Allen Voor Een yang artinya “Satu Untuk Semua, Tapi Semua Juga Untuk Satu”. RM Soeardi dan Cipto pun ditangkap karena dinilai mengganggu keamanan dan memicu keributan oleh pemerintahan kolonial Belanda. Mendengar dua sahabatnya ditangkap, Dekker yang baru kembali dari Belanda juga menulis melalui majalah harian De Express tanggal 5 Agustus 1913 yang bertajuk Onze Heiden: Tjipto Mangoeankoesoemoe En R.M Soeardi Soeryaningrat yang artinya “Mereka pahlawan kita: Cipto Mangoen Koesoemo dan RM Soeardi Soeryaningrat”.
Hingga Akhirnya pada tanggal 18 Agustus RM Soeardi menerima putusan dari pemerintahan kolonial Belanda diasingkan ke Bangka, rekannya Dekker ke Kupang dan Cipto ke Banda Neira untuk pengasingan. Ketiganya menolak, mereka meminta pengasingan mereka dipindahkan ke Belanda atas biaya sendiri. RM Soardi dipindahkan ke Den Haag (sebuah kota di Belanda) bersama istrinya yang baru saja dinikahi sebelum ia diasingkan yaitu RA Sutartinah, dan dua rekannya dari Indische Partij yaitu Douwes Dekker dan dr Cipto Mangunkusumo, yang akhirnya dikenal dengan julukan Tiga Serangkai. Mereka diasingkan sejak 1913 hingga 1919. Kutipan Surat dari Ki Hajar Dewantara kepada sahabatnya Dekker “kita sedang membuat sejarah. Tanah Air meminta korban dan disinilah kita, siap sedia memberi korban sesuci-sucinya. Tak sekejap mata pun kita kehilangan jiwa satria…”
Tiga Serangkai di Pengasingan
Berada di pengasingan tidak membuat mereka berhenti bergerak. RM Soeardi aktif dalam organisasi Indische Vereeniging yang menghimpun pelajar mahasiswa bumiputra di Belanda. RM Soeardi juga aktif menulis di berbagaimacam surat kabar di Belanda. Selama dipengasingan RM Soeardi banyak menyerap paham pendidikan tokoh barat seperti Jhon Dewey, Froebel, serta Rabindranath Tagore.
Tahun 1918 RM Soeardi mendirikan kantor berita Indonesische Persbureau di Belanda yang kemudian menjadi perangkat propaganda perjuangan pergerakan Nusantara di Belanda. Sarana komunikasi antara surat kabar dari Hindia Belanda ke anggota Senat dan Parlemen di Belanda. Hal ini membuat partai-partai di Belanda mengetahui kondisi-kondisi yang terjadi di Nusantara.
Mempopulerkan Kembali Nusantara
Pada masanya di tahun 1920-an terdapat timpang tindih sebutan atau julukan bagi kepulauan yang sekarang adalah Republik indonesia. Sebagai penulis yang handal masa itu, RM Soeardi mempopulerkan kembali sebutan Nusantara karena tidak ada serapan bahasa asing pada kata Nusantara seperti istilah lain yang kerap digunakan oleh penjajah kolinial Belanda, yaitu; Insulide, Indie, hindia dan lainnya. Nusantara tercatat pada abad ke-12 sampai ke-16 dipergunakan untuk menggambarkan paham atau pemikiran sebuah kenegaraan oleh kerajaan Majaphit. Kata Nusantara kemudian terus kembali populer berkat tulisan-tulisan dari RM Soeardi.
Lahirnya Taman Siswa
Sepulang dari pengasingan, RM Soeardi bergabung menjadi pengajar binaan saudaranya hingga pada tanggal 3 Juli 1922, ia mendirikan Perguruan Nasional Taman Siswa dengan semboyan ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani yang artinya “di depan memberikan contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberikan dorongan”. Genap usia 40 tahun, RM Soeardi menamai dirinya Ki Hajar Dewantara, ia tak menggunakan gelar asal keluarganya untuk bisa lebih dekat dengan rakyat umum.
Ki Hajar Dewantara Sebagai Bapak Pendidikan
Beberapa dari sekian banyak gelar dan kiprah Ki Hajar Dewantara di antaranya; Ki Hajar Dewantara ditetapkan sebagai Maha Guru Sekolah Polisi Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1946, Mendapatkan gelar doktor kehormatan dari universitas tertua di Indonesia; Universitas Gajah Mada. Atas jasa-jasanya membuat pendidikan umum bagi rakyat Indonesia, Ki Hajar Dewantara diangkat menjadi bapak Pendidikan Nasional Indonesia, Hari kelahirannya diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Diangkat menjadi Menteri Pengajaran pada kabinet pertama pemerintahan Indonesia.
Demikianlah kisah pendidikan yang sangat dekat dengan sosok Ki Hajar Dewantara. Semoga semangat yang diberikan dari kisah yang penalis tuliskan ini, bisa menjadi upaya memajukan kecerdasan bangsa.